PENYAKIT YANG SERING MENYERTAI KEHAMILAN



0 komentar
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Askeb IV B


Disusun oleh :
Kelompok 4 C1.2
Muharia 090105135
Anita Rahmawati 090105136
Hermia Fithri Lailatul Hidayati 090105137
Arwinda Nur F 090105138

PROGRAM STUDI D III ILMU KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2011


DASAR TEORI
Macam-macam Penyakit yang Menyertai Kehamilan dan Persalinan Ibu Hamil
A. Tuberkulosis Paru
Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, BB menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit di dada. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan adanya ronkhi basal, suara caverne atau pleural effusion. Penyakit ini mungkin bentuknya aktif atau kronik, dan mungkin pula tertutup atau terbuka.
Pada penderita yang dicurigai menderita TBC Paru sebaiknya dilakukan pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (puirified protein derivate) 5u, bila hasil positif dilanjutkan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X, pada penderita TBC Paru aktif perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk membuat diagnosis secara pasti sekaligus untuk tes kepekaan / uji sensitivitas. Pada janin dengan ibu TBC Paru jarang dijumpai TBC congenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui ibunya.
1. Penatalaksanaan
Penyakit ini akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita, berikan penjelasan dan pendidikan kepada pasien bahwa penyakitnya bersifat kronik sehingga diperlukan pengobatan yang lama dan teratur. Ajarkan untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin dan tertawa.
Sebagian besar obat anti TBC aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin yang bersifat ototoksik bagi janin dan harus diganti dengan etambutol, pasien hamil dengan TBC Paru yang tidak aktif tidak perlu mendapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif dianjurkan untuk menggunakan dua macam obat atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman, dan isoniazid (INH) selalu diikutkan karena paling aman untuk kehamilan, efektifitasnya tinggi dan harganya lebih murah.

2. Obat-obatan yang dapat digunakan:
a. Isoniazid (INH) 300 mg/hari. Obat ini mungkin menimbulkan komplikasi pada hati sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu makan berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu perlu diperiksa faal hati sewaktu-waktu dan bila ada perubahan untuk sementara obat harus segera dihentikan.
b. Etambutol 15-20 mg/kg/hari. Obat ini dapat menimbulkan komplikasi retrobulber neuritis, akan tetapi efek samping dalam kehamilan sangat sedikit dan pada janin belum ada.
c. Streptomycin 1gr/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam kehamilan, jangan digunakan dalam kehamilan trimester I. Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik). Disamping itu obat ini juga kurang menyenangkan pada penderita karena harus disuntikan setiap hari.
d. Rifampisin 600mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan TBC Paru tetapi memberikan efek teratogenik pada binatang poercobaan sehingga sebaiknya tidak diberikan pada trimester I kehamilan.
Pemeriksaan sputum harus dilakukan setelah 1-2 bulan pengobatan, jika masih positif perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat, bila pasien sudah sembuh lakukan persalinan secar biasa. Pasien TBC aktif harus ditempatkan dalam kamar bersalin terpisah, persalinan dibantu Ekstraksi Vacum atau Forcep. Usahakan pasien tidak meneran, berikan masker untuk menutupi mulut dan hidung agar kuman tidak menyebar. Setelah persalinan pasien dirawat di ruang observasi 6-8 jam, kemudian dapat dipulangkan langsung. Pasien diberi obat uterotonika dan obat TBC tetap harus diteruskan. Penderita yang tidak mungkin pulang harus dirawat di ruang isolasi, karena bayi cukup rentan terhadap penyakit ini, sebagian besar ahli menganjurkan pemisahan dari ibu jika ibu dicurigai menderita TBC aktif, sampai ibunya tidak memperlihatkan tanda-tanda proses aktif lagi setelah dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali yang selalu memperlihatkan hasil negatif.
Pasien TBC yang menyusui harus mendapat regimen pengobatan yang penuh. Semua obat anti TBC sesuai untuk laktasi sehingga pemberian laktasi dapat dengan aman dan normal. namun bayi harus diberi suntikan mantoux, mendapat profilaksis INH dan imunisasi BCG.
B. Ginjal
Dalam kehamilan terdapat perubahan-perubahan fungsional dan anatomic ginjal dan saluran kemih yang sering menimbulkan gejala-gejala dan kelainan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium.perubahan anatomi terdapat peningkatan pembuluh darah dan ruangan interstisial pada ginjal. Ginjal akan memanjang kurang lebih 1 cm dan kembali normal setelah melahirkan. Ureter juga mengalami pemanjangan, melekuk dan kadang berpindah letak ke lateral dan akan kembali normal 8-12 minggu setelah melahirkan.
Selain itu juga terjadi hiperlpasia dan hipertrofi otot dinding ureter dan kaliks, dan berkurangnya tonus otot-otot saluran kemih karena pengaruh kehamilan. Akibat pembesaran uterus hiperemi organ-organ pelvis dan pengaruh hormonal terjadi perubahan pada kendung kemih yang dimulai pada kehamilan 4 bulan. Kandung kemih akan berpindah lebih anterior dan superior. Pembuluh-pembuluh di daerah mukosa akan membengkak dan melebar. Otot kandung kemih mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen. Kapasitas kandung kemih meningkat sampai 1 liter karena efek relaksasi dari hormon progesterone.
Perubahan Fungsi
Segera sesudah konsepsi, terjadi peningkatan aliran plasma (Renal Plasma flow) dan tingkat filtrasi gomerolus (Gomerolus Filtration Rate). Sejak kehamilan trimester II GFR akan meningkat 30-50 %, diatas nilai normal wanita tidak hamil. Akibatnya akan terjadi penurunan kadar kreatinin serum dan urin nitrogen darah, normal kreatinin serum adalah 0,5-0,7 mg/100 mll dan urea nitrogen darah 8-12 mg/100 mll.
C. Jantung
1. Etiologi
Sebagian besar disebabkan demam reumatik. Bentuk kelainan katup yang sering dijumpai adalah stenosis mitral, insufisiensi mitral, gabungan stenosis mitral dengan insufisiensi mitral, stenosis aorta, insufisiensi aorta, gabungan antara insufisiensi aorta dan stenosis aorta, penyakit katupulmonal dan trikuspidal.
2. Faktor Predisposisi
Peningkatan usia pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan superimposed preeklamsi atau eklamsi, aritmia jantung atau hipertrofi ventrikel kiri, riwayat decompensasi cordis, anemia.
3. Patofisiologi
Keperluan janin yang sedang bertumbuh akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah dalam berlangsungnya kehamilan, yang harus dipenuhi melalui darah ibu. Untuk itu banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Karena itu dalam kehamilan selalu terjadi perubahan dalam system kardiovaskuler yang baisanya masih dalam batas-batas fisiologik. Perubahan-perubahan itu terutama disebabkan karena :
a. Hidrenia (Hipervolemia), dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan puncaknya pada UK 32-36 minggu
b. Uterus gravidus yang makin lama makin besar mendorong diafragma ke atas, ke kiri, dan ke depan sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran.
Volume plasma bertambah juga sebesar 22 %. Besar dan saat terjadinya peningkatan volume plasma berbeda dengan peningkatan volume sel darah merah ; hal ini mengakibatkan terjadinya anemia delusional (pencairan darah).
12-24 jam pasca persalinan terjadi peningkatan volume plasma akibat imbibisi cairan dari ekstra vascular ke dalam pembuluah darah, kemudian di ikuti periode deuresis pasca persalinan yang mengakibatkan hemokonsentrasi (penurunan volume plasa). 2 minggu pasca persalinan merupakan penyesuaian nilai volume plasma seperti sebelum hamil.
Jantung yang normal dapat menyesuaikan diri, tetapi jantung yang sakit tidak. Oleh karena itu dalam kehamilan frekuensi denyut jantung meningkat dan nadi rata-rata 88x/menit dalam kehamilan 34-36 minggu. Dalam kehamilan lanjut prekordium mengalami pergeseran ke kiri dan sering terdengar bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal. Penyakit jantung akan menjadi lebih berat pada pasien yang hamil dan melahirkan, bahkan dapat terjadi decompensasi cordis.
4. Manifestasi Klinis
Mudah lelah, nafas terengah-engah, ortopnea, dan kongesti paru adalah tanda dan gejala gagal jantung kiri. Peningkatan berat badan, edema tungkai bawah, hepato megali, dan peningkatan tekanan vena jugularis adalah tanda dan gejala gagal jantung kanan. Namun gejala dan tanda ini dapat pula terjadi pada wanita hamil normal. Biasanya terdapat riwayat penyakit jantung dari anamnesis atau dalam rekam medis.
Perlu diawasi saat-saat berbahaya bagi penderita penyakit jantung yang hamil yaitu :
a. Antara minggu ke 12 dan 32. Terjadi perubahan hemodinamik, terutama minggu ke 28 dan 32, saat puncak perubahan dan kebutuhan jantung maksimum
b. Saat persalinan. Setiap kontraksi uterus meningkatkan jumlah darah ke dalam sirkulasi sistemik sebesar 15 – 20% dan ketika meneran pada partus kala ii, saat arus balik vena dihambat kembali ke jantung.
c. Setelah melahirkan bayi dan plasenta. Hilangnya pengaruh obstruksi uterus yang hamil menyebabkan masuknya darah secara tiba-tiba dari ekstremitas bawah dan sirkulasi uteroplasenta ke sirkulasi sistemik.
d. 4-5 hari seetelah peralinan. Terjadi penurunan resistensi perifer dan emboli pulmonal dari thrombus iliofemoral.
Gagal jantung biasanya terjadi perlahan-lahan, diawali ronkhi yang menetap di dasar paru dan tidak hilang seteah menarik nafas dalam 2-3 kali.
Gejala dan tanda yang biasa ditemui adalah dispnea dan ortopnea yang berat atau progresif, paroxysmal nocturnal dyspnea, sinkop pada kerja, nyeri dada, batuk kronis, hemoptisis, jari tabuh, sianosis, edema persisten pada ekstremitas, peningkatan vena jugularis, bunyi jantung I yang keras atau sulit didengar, split bunyi jantung II, ejection click, late systolic click, opening snap, friction rub, bising sistolik derajat III atau IV, bising diastolic, dan cardio megali dengan heaving ventrikel kiri atau kanan yang difus.
5. Pemeriksaan Penunjang
Selain pemeriksaan laboratorium rutin juga dilakukan pemeriksaan :
a. EKG untuk mengetahui kelainan irama dan gangguan konduksi, kardiomegali, tanda penyakit pericardium, iskemia, infark. Bisa ditemukan tanda-tanda aritmia.
b. Ekokardigrafi. Meteode yang aman, cepat dan terpercaya untuk mengetahu kelainan fungsi dan anatomi dari bilik, katup, dan peri kardium
c. Pemeriksaan Radiologi dihindari dalam kehamilan, namun jika memang diperlukan dapat dilakukan dengan memberi perlindung diabdomen dan pelvis.

6. Diagnosis
Burwell dan Metcalfe mengajukan 4 kriteria. Diagnosis ditegakkan bila ada satu dari kriteria :
a. Bising diastolic, presistolik, atau bising jantung terus menerus
b. Pembesaran jantung yang jelas
c. Bising sistolik yang nyaring, terutama bila disertai thrill
d. Arimia berat
Pada wanita hamil yang tidak menunjukan salah satu gejala tersebut jarang menderita penyakit jantung. Bila terdapat gejala decompensasi jantung pasien harus di golongkan satu kelas lebih tinggi dan segera dirawat
7. Klasifikasi penyakit jantung dalam kehamilan
a. Kelas I
 Tanpa pembatasan kegiatan fisik
 Tanpa gejala penyakit jantung pada kegiatan biasa
b. Kelas II
 Sedikit pembatasan kegiatan fisik
 Saat istirahat tidak ada keluhan
 Pada kegiatan fisik biasa timbul gejala isufisiensi jantung seperti: kelelahan, jantung berdebar (palpitasi cordis), sesak nafas atau angina pectoris
c. Kelas III
 Banyak pembatasan dalam kegiatan fisik
 Saat istirahat tidak ada keluhan
 Pada aktifitas fisik ringan sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung
d. Kelas IV
 Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun

8. Komplikasi
a. Pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema paru, kematian, abortus.
b. Pada janin dapat terjadi : prematuritas, BBLR, hipoksia, gawat janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin terhambat.

9. Penatalaksanaan
Sebaiknya dilakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau ahli jantung. Secara garis besar penatalksanaan mencakup mengurangi beban kerja jantung dengan tirah baring, menurunkan preload dengan deuretik, meningkatkan kontraktilitas jantung dengan digitalis, dan menurunkan after load dengan vasodilator.
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu :
a. Kelas I
Tidak memerlukan pengobatan tambahan
b. Kelas II
Umumnya tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada UK 28-32 minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk.
Kedua kelas ini dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan melahirkan pervaginam, namun harus diawasi dengan ketat. Pasien harus tidur malam cukup 8-10 jam, istirahat baring minimal setengah jam setelah makan, membatasi masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein, rendah garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu sekali dan seminggu sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien di RS sejak 1 minggun sebelum waktu kelahiran. Lakukan persalinan pervaginam kecuali terdapat kontra indikasi obstetric. Metode anastesi terpilih adalah epidural
Kala persalinan biasanya tidak berbahaya. Lakukan pengawasan dengan ketat. Pengawasan kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit. Bila terjadi takikardi, takipnea, sesak nafas (ancaman gagal jantung), berikan digitalis berupa suntikan sedilanid IV dengan dosis awal 0,8 mg, dapat diulang 1-2 kali dengan selang 1-2 jam. Selain itu dapat diberi oksigen, morfin (10-15 mg), dan diuretic.
Pada kala II dapat spontan bila tidak ada gagal jantung. Bila berlangsung 20 menit dan ibu tidak dapat dilarang meneran akhiri dengan ekstraksi cunam atau vacum dengan segera
Tidak diperbolehkan memaki ergometrin karena kontraksi uterus yang bersifat tonik akan menyebabkan pengembalian darah ke sirkulasi sistemik dala jumlah besar.
Rawat pasien sampai hari ke 14, mobilisasi bertahap dan pencegahan infeksi, bila fisik memungkinkan pasien dapat menusui.
c. Kelas III
Dirawat di RS selam hamil terutama pada UK 28 minggu dapat diberikan diuretic
d. Kelas IV
Harus dirawat di RS
Kedua kelas ini tidak boleh hamil karena resiko terlalu berat. Pertimbangkan abortus terapeutik pada kehamilan kurang dari 12 minggu. Jika kehamilan dipertahankan pasien harus terus berbaring selama hamil dan nifas. Bila terjadi gagal jantung mutlak harus dirawat dan berbaring terus sampai anak lahir. Dengan tirah baring, digitalis, dan diuretic biasanya gejala gagal jantung akan cepat hilang.
Pemberian oksitosin cukup aman. Umumnya persalinan pervaginam lebih aman namun kala II harus diakhiri dengan cunam atau vacuum. Setelah kala III selesai, awasi dengan ketat, untuk menilai terjadinya decompensasi atau edema paru. Laktasi dilarang bagi pasien kelas III dan IV.
Operasi pada jantungn untuk memperbaiki fungsi sebaiknya dilakukan sebelum hamil. Pada wanita hamil saat yang paling baik adalah trimester II namun berbahaya bagi bayinya karena setelah operasi harus diberikan obat anti pembekuan terus menerus dan akan menyebabkan bahaya perdarahan pada persalinannya. Obat terpilih adalah heparin secara SC, hati-hati memberikan obat tokolitik pada pasien dengan penyakit jantung karena dapat menyebabkan edema paru atau iskemia miocard terutama pada kasus stenosis aorta atau mitral.
10. Prognosis
Prognosis tergantung klasifikasi, usia, penyulit lain yang tidak berasal dari jantung, penatalaksanaan, dan kepatuhan pasien. Kelainan yang paling sering menyebabkan kematian adalah edema paru akut pada stenosis mitral. Prognosis hasil konsepsi lebih buruk akibat dismaturitas dan gawat janin waktu persalinan.
D. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat hamil
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang meninjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain : estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat lambatbya resopsi makanan maka terjadi hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.
1. Diagnosis
Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola sebaik-baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan factor resiko berupa beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab, riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari 4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion.
Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu > 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih berulang selama hamil.
2. Klasifikasi
a. Tidak tergantung insulin (TTI) – Non Insulin Dependent diabetes mellitus (NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
b. Tergantung insulin (TI) – Insulin dependent Diabetes Melitus yaitu kasus yan memerlukan insulin dalam mengembalikan kadar gula darah.

3. Komplikasi
a. Maternal : infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi kronik, PE, kematian ibu
b. Fetal : abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi plasenta, makrosomia, kematian intra uterin,
c. Neonatal : prematuritas, kematian intra uterin, kematian neonatal, trauma lahir, hipoglikemia, hipomegnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, syndroma gawat nafas, polisitemia.

4. Penatalaksanaan
Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarka pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4 minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati persalinan. Obat hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan BB sekitar 10-12 kg. 5. Penatalaksanaan Obstetric Pantau ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ, dan secara khusus memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC. Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42 minggu) dengan persalinan biasa. Ibu hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya >20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38 minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak UK 34 minggu dan baisanya memerlukan insulin. E. Asma 1. Definisi asma The American Thoracic Society (1962) : adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan. Gibbs dkk (1992). Mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang banyak diperankan oleh terutama sel mast dan eosinofil. Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam. Asma bronkiale merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kepekaan saluran trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Pada serangan asma terjadi bronkospasme, pembengkakan mukosa dan peningkatan sekresi saluran nafas, yang dapat hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala klinik yang klasik berupa batuk, sesak nafas, dan mengi (wheezing), serta bisa juga disertai nyeri dada. Serangan asma umumnya berlangsung singkat dan akan berakhir dalam beberapa menit sampai jam, dan setelah itu penderita kelihatan sembuh secara klinis. Pada sebagian kecil kasus terjadi keadaan yang berat, yang mana penderita tidak memberikan respon terhadap terapi (obat agonis beta dan teofilin), hal ini disebut status asmatikus. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Angka kesakitan dan kematian perinatal tergantung dari tingkat penanganan asma. Gordon et al menemukan bahwa angka kematian perinatal meningkat 2 kali lipat pada kehamilan dengan asma dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan penderita dengan baik, angka kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekati angka populasi normal. 2. Sistem Pernafasan Selama Kehamilan Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus. Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida. Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebesar 20%. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%. Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH darah tidak mengalami perubahan. Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 – 103,5 selama kehamilan. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan. Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal distress dapat terjadi. 3. Patofisiologi Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut. Meskipun asma secara primer dianggap sebagai penyakit saluran pernapasan, sebenarnya semua aspek fungsi pernapasan terpengaruh pada suatu serangan akut, sebagai tambahan pada beberapa penderita juga dijumpai adanya hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan pada elektrokardiografi. Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi peradangan dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor mukosilia. Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi tampaknya diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi ketidak seimbangan antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis dengan reseptor beta-2 menimbulkan bronkodilatasi, sedangkan saraf parasimpatis menimbulkan bronkokontriksi. 4. Gambaran Klinis Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengi (wheezing) dan pada sebagian penderita disertai rasa nyeri di dada. Tetapi ada yang hanya disertai batuk tanpa sesak. Dengan demikian ada derajat asma : a. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pencetus. b. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanpa kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan asma c. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. d. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan napas. e. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik berupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan yang biasa dipakai. 5. Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut : a. Asma akut intermiten : Diluar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan kortikosteroid. Faktor-faktor yang mencetuskan serangan sering berupa :  Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus.  Kegiatan jasmani (exercises induced ashtma)  Lingkungan pekerjaan (occupational asthma)  Obat-obat (drug induced asthma)  Tidak jelas b. Asma akut dan status asmatikus : Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari pertolongan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan obat-obat adrenergik beta dan teofilin disebut status asmatikus. c. Asma kronik persisten (asma kronik) : Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut disebabkan oleh karena saluran nafas penderita terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terus-menerus. 6. Pengaruh Perubahan Hormonal Selama Kehamilan Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka diperdebatkan. Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol. Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan. Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama persalinan. Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase (diaminoksidase) dalam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang ditimbulkannya. 7. Diagnosis Asma Bronkiale Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik seperti sesak nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul berulang-ulang dengan masa remisi diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan pengobatan, tetapi kadang-kadang dapat pula menjadi kronik sehingga keluhan berlangsung terus menerus. Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis alergik, dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan penyakit asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai faktor pencetus serangan. Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam serangan. Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi banyak pula penderita yang bukan asma menimbulkan mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. 8. Pemeriksaan penunjang yang penting dalam asma adalah sebagai berikut : a. Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel. b. Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak > 20% menunjukkan diagnosis asma. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis, tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
c. Tes provokasi bronkial untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus. Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus harus dilakukan tes provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi dengan aquadestilata. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi adalah bermakna.
d. Pemeriksaan tes kulit
Tujuan tes kulit yaitu menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh. Tes ini hanya menyokong anamnesa, karena alergen yang menunjukkann tes kulit yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma; sebaliknya tes kulit yang negatif tidak selalu berarti tidak ada faktor kerentanan kulit.
e. Pemerikasaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam serum.
Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan hanya untuk menyokong adanya penyakit atopi.
f. Pemerikasaan radiologi
Pada umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila ada kecurigaan proses patalogik di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dll.
g. Analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat. Pada keadaan tersebut dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis respiratorik.
h. Pemeriksaan eosinofi dalam darah
Pada penderita asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Selain dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortkosteroid yang diperlukan penderita asma, jumlah eosinofil total dalam darah dapat membantu untuk membedakan asma dari bronkitis kronik.
i. Pemeriksaan sputum: disamping untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot, spiral Churschmann.

9. Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat disuga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma.
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai faktor yang memberikan pengaruh. Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung pervaginam.
10. Pengaruh Asma Terhadap Kehamilan
Pengaruh asma terhadap kehamilan bervariasi tergantung derajat berat ringannya asma tersebut. Asma terutama jika berat bisa secara bermakna mempengaruhi hasil akhir kehamilan, beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan insidensi abortus, elahiran prematur, janin dengan berat badan lahir rendah, dan hipoksia neonatus. Beratnya derajat serangan asma sangat mempengaruhi hal ini, terdapat korelasi bermakna antara fungsi paru ibu dengan berat lahir janin. Angka kematian perinatal meningkat dua kali lipat pada wanita hamil dengan asma dibandingkan kelompok kontrol.
Asma berat yang tidak terkontrol juga menimbulkan resiko bagi ibu, kematian ibu biasanya dihubungkan dengan terjadinya status asmatikus, dan komplikasi yang mengancam jiwa seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung, serta kelemahan otot dengan gagal nafas. Angka kematian menjadi lebih dari 40% jika penderita memerlukan ventilasi mekanik.
Asma dalam kehamilan juga dihubungkan dengan terjadinya sedikit peningkatan insidensi preeklampsia ringan, dan hipoglikemia pada janin, terutama pada ibu yang menderita asma berat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penanganan penderita secara intensif, akan mengurangi serangan akut dan status asmatikus, sehingga hasil akhir kehamilan dan persalinan dapat lebih baik.
11. Penanganan Asma Selama Kehamilan Dan Persalinan
a. Dasar-dasar Penanganan
Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu hamil sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walauoun demikian eksaserbasi akut selalu tak dapat dihindari.
b. Pengobatan yang harus diusahakan adalah :
 Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap penderita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala awal secara tepat.
 Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan pernapasan atau status asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal dan intensif.
 Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping melindungi keselamatan ibu.
 Dalam penanganan penderita asma diperlukan individualisasi penanganan, karena penanganan suatu kasus mungkin berbeda dengan kasus asma yang lain, dalam memulai suatu perawatan obstetri terhadap wanita hamil dengan asma perlu diperhatikan beberapa prinsip tertentu yaitu :
 Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan asma pada penderita tertentu.
 Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal
 Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada saluran nafas, seperti bronkitis, sinusitis.
 Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui masalah-masalah yang potensial dapat timbul, rencana penanganan umum termasuk penggunaan obat-obatan.
 Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam kerangka respon pengobatan yang baik.
 Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah khususnya pada penderita asma berat.

11. Obat-obat anti asma yang sering digunakan
Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan asma secara garis besar dapat dibagi dalam 5 kelompok utama yaitu beta adrenergik, methylxanthine, glukokortikoid, cromolyn sodium dan anti kolinergik, di samping itu terdapat obat-obat lain yang sering digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita asma seperti ekspektoran dan antibiotik.
a. Beta adrenergik agonis
Dalam golongan ini epinefrin merupakan obat yang paling sering digunakan.
Epinefrin menstimulasi reseptor beta-2 menyebabkan bronkodilatasi, tetapi juga menstimulasi reseptor alfa dan beta-1 yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi perifer dan takikardia baik pada ibu maupun janin, juga menyebabkan fetal distres, ini merupakan kelemahan teoritis penggunaan epinefrin dalam kehamilan, untungnya epinefrin mempunyai waktu paruh pendek dan belum ada laporan yang menunjukkan adanya efek jangka panjang terhadap janin pada penggunaannya dalam kehamilan.
Terbutalin merupakan beta agonis yang sering digunakan untuk terapi tokolitik pada persalinan prematur. Dalam pengobatan asma dosisnya sebaiknya dikurangi pada saat mendekati aterm, meskipun tidak terdapat laporan yang menunjukkan adanya penundaan bermakna dalam onset persalinan normal, bila obat ini digunakan sebagai terapi inti asma standar.
b. Methylxanthine (Teofilin)
Teofilin dengan berbagai garamnya termasuk dalam golongan ini. Mekanisme teofilin menimbulkan bronkodilatasi tidak jelas, diduga melalui inhibisi kompetitif terhadap enzim fosfodiesterase, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar siklik AMP karena degradasinya yang menurun. Aminofilin merupakan suatu garam dietileniamin dari teofilin dan merupakan satu-satunya obat golongan xanthin yang dapat diberikan secara parenteral
c. Glukokortikoid
Kortikosteroid digunakan sejak lama untuk pengobatan asma. Kortikosteroid bukan merupakan bronkodilator, tetapi bermanfaat dalam mengarungi inflamasi pada saluran napas. Umumnya disepakati memberikan steroid seawal mungkin pada penderita dengan serangan asma akut berat. Pemakaian kortikosteroid selama kehamilan tidak menyebabkan meningkatnya resiko komplikasi baik pada janin maupun ibu.
d. Cromolyn Sodium
Cromolyn sodium bukan merupakan bronkodilator, efek terapeutik utamanya adalah inhibisi terhadap degranulasi sel mast, sehingga mencegah terjadinya pelepasan mediator kimia untuk reaksi anafilaksis. Cromolyn berguna baik untuk asma alergik maupun non alergik.
e. Anti Kolinergik
Obat antikolenergik seperti atropin sulfat dapat memberikan efek bronkodilatasi ada penderita asma, tetapi penggunaannya menjadi terbatas karena efek samping yang tidak diinginkan. Golongan antikolinergik yang lebih sering digunakan adalah ipratropium bromida, terbukti efektif dan kurang menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
Efek penggunaan obat anti asma dalam kehamilan terhadap janin Umumnya obat-obat anti asma yang biasanya dipergunakan relatif aman penggunaannya selama kehamilan, jarang dijumpai adanya efek teratogenik pada janin akibat penggunaan obat anti asma.
12. Penanganan asma kronik pada kehamilan
Dalam penanganan penderita asma dengan kehamilan, dan tidak dalam serangan akut, diperlukan adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan dan ahli paru. Usaha-usaha melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi melalui pengobatan dilakukan untuk menghindari timbulnya serangan asma yang berat.
13. Adapun usaha penanganan penderita asma kronik meliputi :
a. Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak akan memperburuk perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan stres dapat memacu timbulnya serangan asma.
b. Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan asma.
c. Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa adanya peningkatan resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus, kematian neonatus, dan malformasi kongenital, akan tetapi efek terapinya terhadap penderita asma belum diketahui jelas.
d. Diberikan dosis teofilin per oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma antara 10-22 mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-600 mg tiap 8-12 jam.
e. Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan yang lainnya.
f. Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali sehari, atau beta agonis lainnya.
g. Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat gunakan prednison dengan dosis sekecil mungkin.
h. Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi saluran nafas atas.
i. Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya serangan asma, dengan dosis 20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi.
14. Penanganan serangan asma akut pada kehamilan
Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan.
Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut:
a. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.
b. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.
c. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10-20 mikrogram/ml.
d. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis 0,25 mg
e. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose, tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5 mg/kgBB/jam
f. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang menyertai
g. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus yang mengancam kehidupan.
h. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus, pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis.
15. Penanganan asma dalam persalinan
Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter klinik, khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan.
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam, memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan bermanfaat.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat.
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas histamin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal.
16. Penanganan asma post partum
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.Sifilis
Infeksi sifilis (lues) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Triponema pallidum. Jika terjadi pada ibu hamil maka disebut sifilis kongenital dan sifilis dan sifilis ini merupakan bentuk penyakit sifilis yang terberat. Infeksi pada janin dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan dengan derajat resiko infeksi yang tergantung jumlah spiroketa (triponema) di dalam darah ibu.
Angka kejadian yang tinggi terdapat pada kelompok wanita tuna susila. Wanita yang berhubungan seksual dengan pasangannya yang menderita sifilis mempunyai resiko 50% untuk dapat tertular penyakit ini.
F. Etiologi
Sifilis disebabkan oleh infeksi Triponema pallidum.
1. Klasifikasi
Pembagian sifilis secara klinis ialah sifilis kongenital dan sifilis didapat atau dapat pula digolongkan berdasarkan stadium I, II, III sesuai dengan gejala-gejalanya:
a. Sifilis Stadium I
Tiga minggu (10-90 hari) setelah infeksi timbul lesi, berukuran beberapa mm sampai 1-2 cm, berbentuk bulat atau bulat lonjong, merah, dan bila diraba seperti ada pengerasan (indurasi), kelainan ini tidak ada nyeri.

b. Sifilis Stadium II
Pada umumnya bila gejala sifilis II muncul, sifilis stadium I sudah sembuh. Waktu antara sifilis stadium I dan II umumnya 6-8 minggu. Sifat yang khas pada sifilis ialah jarang ada rasa gatal, terdapat nyeri pada kepala, demam subfebril, anoreksia, nyeri pada tulang, nyeri leher biasanya mendahului, kadang-kadang bersamaan dengan kelainan pada kulit (berupa makula, papul, pustul dan rupia).

c. Sifilis Stadium III
Lesi yang khas adalah guma yang dapat terjadi 3-7 tahun setelah infeksi. Guma umumnya satu, dapat multipel, ukuran miliar sampai berdiameter beberapa centimeter, berbentuk nekrosis sentral. Guma mengalami supurasi dan memerah serta meninggalkan suatu ulkus dengan dinding curam dan dalam. Sifilis stadium ini dapat merusak semua jaringan, tulang rawan pada hidung dan palatum. Guma juga dapat ditemukan di organ dalam, yakni lambung, hepar, lien, paru, testis dan lain-lain.

2. Cara Penularan Sifilis
a. Secara Langsung
 Melalui kontak langsung dengan lesi yang mengandung triponema.
 Melalui hubungan seksual.
 Dari darah ibu ke janin melalui plasenta saat kehamilan.

a. Secara Tidak Langsung
 Melalui transfusi darah.
 Melalui alat-alat yang terkontaminasi dengan virus triponema.

4. Pengaruh Sifilis terhadap Kehamilan dan Persalinan
Apabila infeksi terjadi pada kehamilan, maka luka primer di daerah genital mungkin tidak dapat dikenal karena tempatnya atau kecilnya. Sebaliknya luka itu dapat lebih besar daripada biasa, yang mungkin disebabkan karena vaskularisasi alat kelamin yang lebih banyak pada kelamin. Pengaruh sifilis pada janin dapat menyebabkan antara lain :
 Kematian janin
 Partus immaturus
 Partus prematur
Bayi dapat dijumpai dengan gejala-gejala sifilis kongenital antara lain :
 Pemfigus sifilikus
 Deskeumasi pada telapak kaki dan tangan
 Ragadhe di kanan kiri mulut
Pada persalinan tampak janin atau plasenta yang hidropik, karena itu pada waktu pemeriksaan kehamilan (ANC) perlu dilakukan anamnesis tentang kemungkinan adanya kontak sederhana dengan penderita sifilis.
5. Pemeriksaan
 Pemeriksaan lapangan gelap (Direct Fluorescent Antibody Test)
 Tes skrining serologis ® Test Slide VDRL (Venerial Disease Research) Laboratory) / RPR (Rapid Plasma Readgin)
 FTA-ABS (Fluorescent Trepnemal Antibody Absorption Test)
 Tes antibodi HIV

6. Penanganan/Pengobatan
a. Wanita hamil dengan sifilis harus diobati sedini mungkin, sebaiknya sebelum hamil atau triwulan 1 untuk mencegah penularan terhadap janin.
b. Suami harus diperiksa dengan menggunakan tes reaksi wasserman dan vol, bila perlu diobati.
c. Terapi :
 Suntikan penisilin G, secara ini sebanyak 1 juta satuan perhari selama 8-10 hari.
 Obat-obatan peroral penisilin dan eritromisin.
 Lues kongenital pada neonatus:
 Penisilin G 100.000 satuan/kg BB sekaligus.




















ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGI PADA IBU BERSALIN
NY. H USIA 25 TAHUN G1P0Ab0Ah0 UK 39+1 MG DENGAN ASMA
Jl. Gampingan Baru No. 105, Bantul, Yogyakarta
ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL KALA I
No. Register : 101010
Tanggal pengkajian :
Pukul :
Oleh : Bidan Dina
PENGKAJIAN DATA
I. Subjektif
A. Identitas / Biodata
Ibu Suami
Nama : Ny. H Tn. R
Umur : 25 tahun 27 tahun
Agama : Islam Islam
Suku Bangsa : Jawa Jawa
Pendidikan : SMA S1
Pekerjaan : IRT POLRI
Alamat : Condongcatur, Yogyakarta Condongcatur, Yogyakarta
No. Telp : 0856436xxxx 08572940xxxx

B. Status Kesehatan
1. Datang pada tanggal jam
2. Alasan kunjungan ini :
Ibu mengatakan merasa ingin melahirkan
3. Keluhan
Ibu mengatakan bahwa umur kehamilan beliau 9 bulan. Mengeluhkan mules-mules yang semakin lama semakin sering sejak jam 10.00 WIB yang tidak hilang bila dibawa jalan dan menjalar ke pinggang disertai rasa panas, keluar lendir bercampur darah dari jalan lahir keluar air-air dari jalan lahir disangkal oleh ibu. Pergerakan anak masih dirasakan ibu. Ibu juga mengatakan bahwa beliau memiliki asma dan merasa sulit bernafas. Saat bernafas ibu merasa nyeri di dada.
4. Riwayat Menstruasi
a. Haid pertama : 13 tahun
b. Siklus : 28 hari
c. Banyaknya : 3-4 kali ganti pembalut
d. Disminore : tidak pernah
e. Teratur atau tidaknya : teratur
f. Lama : 5 hari
g. Sifat darah : cair, kadang-kadang ada gumpalan
h. Keputihan : -

5. Riwayat kehamilan ini
a. HPMT : 3-9-2010
b. Taksiran Persalinan : 10-6-2011
c. Keluhan-keluhan :
Trimester I : pusing, mual muntah
Trimester II : tidak ada
Trimester III : sering kencing, merasa sesak nafas
d. Pergerakan anak pertama kali : minggu ke-16
e. Bila pergerakan sudah terasa, pergerakan anak dalam 12 jam terakhir
 < 10x  10x - 20x  >20 x
f. Keluhan-keluhan yang dirasakan :
Rasa lelah : sering
Sesak nafas : Pada trimester III
Susah tidur : Pada trimester III
Mual muntal yang lama : Pada trimester I saja
Nyeri perut : kadang-kadang
Panas Menggigil : tidak ada
Sakit kepala berat/terus-menerus : tidak ada
Penglihatan kabur : tidak ada
Rasa nyeri/panas waktu BAK : tidak ada
Rasa gatal pada vulva vagina atau sekitarnya : tidak ada
Pengeluaran cairan pervagina : tidak ada
Nyeri, kemerahan, tegang pada tungkai : tidak ada
Oedem : tidak ada
g. Pola sehari-hari
No Pola sehari-hari Sebelum hamil Saat hamil
1 Pola Nutrisi :
a. Makan
Frekuensi
Jenis makanan
Makanan Pantangan
Keluhan
b. Minum
Jenis minuman
Frekuensi

2x/hari
Nasi, lauk, sayur, buah
Tidak ada
Tidak ada
Teh manis, air putih
7 gelas / hari

3x/hari
Nasi, sayu, lauk, buah
Tidak ada
Nafsu makan berkurang pada TM III
Air putih, jus, susu
Tidak ada
2 Pola eliminasi
a. BAK
Frekuensi
Warna
b. BAB
Frekuensi
Konsisten
Warna

< 5x/hari Kuning jernih Setiap pagi Lunak kuning > 5x/hari
Kuning jernih

Setiap pagi
Lunak
Kuning kecoklatan
3 Pola istirahat dan tidur Siang : 1 jam
Malam : 7 jam Siang : 1 jam
Malam : 8 jam
4 Personal hygiene
a. Mandi
b. Gosok gigi
c. Keramas
d. Perawatan payudara
e. Perawatan vulva
2x/hari
3x/hari
2x/minggu
Tidak pernah
Setelah BAB dan BAK
2x/hari
3x/hari
3x/minggu
Saat mandi
Setelah BAB dan BAK
5 Pola aktivitas Hanya melakukan pekerjaan rumah tangga HAnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga
6 Pola seksual 3x/minggu 1x/minggu

h. Imunisasi TT 1 pada usia kehamilan 4 bulan, imunisasi TT 2 pada usia kehamilan 5 bulan.
i. Kontrasepsi yang pernah digunakan: suntik 3 bulan
j. Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita
Jantung : tidak ada
Ginjal : tidak ada
Asma : ada
TBC : tidak ada
Hepatitis : tidak ada
DM : tidak ada
Hipertensi : tidak ada
Epilepsi : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
k. Riwayat penyakit keluarga
Jantung : tidak ada
Ginjal : tidak ada
Asma : ada, ibu menderita asma
TBC : tidak ada
Hepatitis : tidak ada
DM : tidak ada
Hipertensi : tidak ada
Epilepsi : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
l. Riwayat psikosocialspiritual
1. Satatus perkawinan . Ibu mengatakan bahwa ini pernikahan pertama beliau. Pernikahannya sah. Umur saat menikah 23 tahun, umur suami 25 tahun. Lama pernikahannya sudah 2 tahun.
2. Ibu mengatakan bahwa ini adalah kehamilan pertamanya. Kehamilan ini direncanakan. Beliau dan suami merasa bahagia dan sangat menanti kedatangan anak pertama mereka. Ibu juga mengatakan bahwa semua keluarga sangat mendukung atas kehamilan ibu ini.
3. Ibu mengatakan merasa khawatir akan proses persalinan yang akan dihadapinya karena beliau memiliki riwayat penyakit asma.
4. Ibu merasa cemas jika asmanya kambuh dan mempengaruhi kesehatan janinnya.

II. OBJEKTIF
A. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : ibu nampak susah bernafas
Kesadaran : baik
Tanda vital sign
 Tekanan Darah : 110/80 mmHg
 Nadi : 83 kali/menit
 Pernapasan : 17 kali/menit
 Suhu : 37 ˚C
BB / TB : 58 kg / 158 cm
Berat badan sebelum hamil : 49 kg
1. Kepala dan Leher :
Rambut : bersih, hitam mengkilat, tidak berketombe.
Wajah : tidak oedem.
Mata : conjungtiva merah muda, sclera putih.
Hidung : bersih, tidak ada polip, tidak ada lendir
Mulut : tidak ada stomatitis, bibir tidak kering, tidak berbau.
 Gigi : tidak ada caries
 Lidah : tidak ada stomatitis
 Gusi : merah muda
Telinga : bersih, tidak ada serumen yang berlebih
Leher : tidak ada pembesaran thyroid, kalenjar limfe, dan vena jugularis

2. Dada
Keluhan : terdengar suara mengi

3. Payudara
Bentuk : simetris, keadaan bersih, tidak ada pembengkaan
Putting : menonjol , tidak lecet
Pengeluaran : kolustrum sudah keluar
Aerola : hyperpigmentasi
4. Abdomen
Luka bekas oprasi: tidak ada
Palpasi Leopold
 Leopold I : teraba bulat, lunak, dan tidak melenting (bokong)
 Leopold II : teraba bagian memanjang di bagian kanan ibu (puka), samping kiri bagian terkecil janin (ekstremitas)
 Leopold III : teraba bagian bulat, keras, melenting, belum masuk PAP (kepala)
 Leopold IV : disvergen
 DJJ : 140 kali/menit
 TBJ : (34 – 12) x 158 =
 Punctum maximum (PM) : Dua jari bawah pusat sebelah kanan
 His :
 Frekuensi : 3 kali/ 10 menit
 Durasi : 30 detik
 Keteraturan : teratur

5. Punggung dan Pinggang
Posisi tulang belakang : sedikit lordosis
Pinggang nyeri : Nyeri menjalar sampai bagian bawah

6. Extremitas atas dan bawah
a. Atas
Bentuk : simetris
Odema : tidak ada
Kebersihan : cukup baik
Lila : 25 cm
Reflek bisep : baik
Kekuatan otot : baik
Pergerakan (abduksi dan aduksi) : baik

b. Bawah
Bentuk : simetris
Varises : tidak ada
Odema : tidak ada
Reflek pattela : +
Pergerakan : baik
Kekuatan otot : baik

7. Genitalia
a. Vulva/vagina : tidak ada odema, tidak ada varises, tidak ada luka, terdapat pengeluaran lendir campur darah dengan jumlah kurang lebih 10 cc
b. Kelenjar bartholini : tidak ada kelainan
c. Kelenjar skene : tidak ada kelainan
d. Perineum : tidak ada luka parut dan keadaan bersih
e. Pemeriksaan dalam
Pukul : 11.00 oleh bidan
Vulva/vagina : tidak ada kelainan
Portio : tipis dan lunak
Pembukaan : 9 cm
Ketuban : positif (+)
Presentasi : puncak kepala

8. Anus
Haemoroid : tidak ada

B. Data Penunjang
a. Pemerikasaan Laboratorium
Hb : 11,5 gr%

III. ASSESSMENT
1. Diagnosa :
G1P0A0 parturient aterm kala I fase aktif janin tunggal hidup intra uterin presentasi puncak kepala.
Dasar :
• Ibu merasa hamil 9 bulan mengeluh mules-mules yang semakin lama semakin sering sejak jam 10.00 WIB yang tidak hilang bila dibawa jalan dan menjalar ke pinggang disertai rasa panas, keluar lendir bercampur darah dari jalan lahir, keluar air-air dari jalan lahir disangkal ibu. Pergerakan anak masih dirasakan ibu.
• Palpasi :
 TFU : 33 cm
 Leopold I : teraba bulat, lunak, dan tidak melenting (bokong)
 Leopold II : teraba bagian memanjang di bagian kanan ibu, samping kiri bagian terkecil janin
 Leopold III : teraba bagian bulat, keras, melenting, belum masuk PAP
 Leopold IV : disvergen
 DJJ : 140 kali/menit
 TBJ : 3100 gr
 Punctum maximum (PM) : Dua jari bawah pusat sebelah kanan
 His :
 Frekuensi : 3 kali/ 10 menit
 Durasi : 30 detik
 Keteraturan : teratur
2. Masalah :
a. Cemas
Dasar : ibu mengatakan cemas terhadap persalinan
b. Pegal pada pinggang, mules

3. Diagnosa Potensial : tidak ada
4. Tindakan segera : tidak ada
5. Kebutuhan :
Penyuluhan tentang cara menghadapi persalinan, kebutuhan nutrisi, eliminasi, dan personal hygiene

IV. PLANNING
Tanggal 24 Maret 2008
1. Jam 11.15 WIB
Menjelaskan pada ibu tentang hasil pemeriksaan, keadaan ibu dan janin baik, memberikan dukungan terus-menerus pada ibu.
• Ibu mengerti hasil pemeriksaan

2. Jam 11.20 WIB
Memberikan asuhan sayang ibu :
 Menbantu ibu melakukan perubahan posisi sesuai kebutuhan ibu
 Memberikan sentuhan pada ibu seperti memijat atau menggosok punggungnya (untuk pain relief/mengurangi rasa nyeri)
 Menganjurkan dan mengingatkan ibu tehnik bernafas/relaksasi : ibu diminta untuk menarik nafas panjang, menahan nafasnya sebentar kemudian dilepaskan dengan cara meniup udara keluar sewaktu ada kontraksi
 Selalu menjaga hak privacy ibu dalam persalinan
 Membantu ibu dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
• Semua asuhan telah diberikan

3. Jam 11.30 WIB
Melakukan obseervasi :
 Kemajuan persalinan setiap 4 jam yang meliputi : pembukaan serviks, penurunan kepala bayi, dan kontraksi setiap 30 menit
 Melakukan observasi kesejahteraan ibu yaitu TD dan suhu setiap 4 jam dan nadi setiap 30 menit
 Melakukan observasi kesejahteraan janin yaitu DJJ setiap 30 menit
Jam T N R S Pembukaan DJJ His
11.30 120/80 84 x/menit 20 x/menit 36,5 8 140 x/menit 4x 10’/40”
12.00 84 x/menit 20 x/menit 140 x/menit 4x 10’/40”
12.10 84 x/menit 20 x/menit 144 x/menit 4x 10’/40”
13.00 84 x/menit 20 x/menit 144 x/menit 5x 10’/40”

4. Jam 13.00 WIB
Melakukan observasi tandan gejala kala II
Ibu mengatakan ingin buang air besar. Terlihat ketuban pecah spontan warna jernih dengan jumlah ± 20 cc. Terlihat tanda gejala kala II teknus, perjol, vulka.

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post